Sweet Surprise
Oleh
: Sarah Chairina Melinda
Beruntungnya, aku
mempunyai sahabat-sahabat yang seperti ini. Yang selalu menghiburku disaat
sedih, yang selalu ada untukku, yang selalu mau mendengar cerita-ceritaku, yang
selalu membuat kejutan-kejutan indah di dalam hariku. Sepuluh orang ini, yang
ku sebut ‘Sinyorita’ adalah sahabat terbaikku yang ku temukan di masa putih
biru. Lagi-lagi ku katakan, beruntungnya, aku mempunyai sahabat-sahabat yang
seperti ini.
Pagi itu, hari pertama
masuk ke kelas baru setelah libur panjang yang menyenangkan. Matahari bersinar
cerah seakan ingin mengiringi hari baruku. Dengan semangat mantap, kulangkahkan
kaki ke dalam kelas. Ah, tidak ada yang menarik. Aku lebih suka kelas lamaku,
mereka lebih seru dan asik. Tapi ternyata aku masih sebangku lagi dengan
sahabar gilaku, Dian. Jadi, sepertinya hari-hari ku tak akan datar-datar saja.
Lalu sekilas, aku melihat sosok itu. Sosok yang membuatku berkeringat dingin
dan membuat degup jantungku semakin kencang. Ada apa ini? Uh, aku tak tahan
untuk tidak menoleh lagi dan melihatnya. Dan, hari itu aku terus tersenyum. Aku
tidak bisa menjelaskan seperti apa ia, tapi yang penting senyumnya manis
sekali. Kurasa, aku, kagum padanya.
Hari terus berganti,
bulan-bulan pertama kelas baru ku pun telah terlewati begitu saja. Aku mulai
mengenal sahabat-sahabat baruku, dan mereka membuat bahagiaku semakin lengkap. Kelasku
juga ternyata semakin asyik dan kompak, lebih dari yang tahun lalu malah. Tentang
dia.... dia yang ku kagumi.... Ah, malahan aku jadi agak sebal karena ia terus
saja mengusiliku. Namun aku sadar, hariku tak pernah lengkap jika ia tak datang
ke mejaku dan membuatku marah akan keusilannya. Ya Tuhan. Aku labil sekali. Aku
tidak hanya kagum. Mengapa aku terus memikirkannya?
“Hey! Ra!” sosok
berjaket hitam itu berjalan mendekatiku. Ada apa ia kemari?? Jantungku masih
saja berdegup seperti pertama kali aku melihatnya. Pipiku masih saja merona.
Segera ku rapikan rambutku dengan hati-hati agar tidak kelihatan, yeah maybe orang-orang menyebutnya salting.
“Apaan?” tanyaku
sekenanya. “Ih, jutek banget jadi orang. Kayak nenek lampiiiir!” ledeknya. Uh,
sebaaal. “Heh, kalo gak penting gak usah deket deket deh. Males gue!” jawabku
ketus. Meskipun aku tak bisa membohongi diriku sendiri, aku senang bisa dekat
dengannya walau dengan cara yang seperti ini, berantem di mana saja dan kapan
saja.
“Ciiiiiieeee.. cocwit
bangeeet deh anak dua ini! PJ—pajak jadian—nya di tunggu ya mbak, mas, maap
mengganggu misi numpang lewat...” kata salah satu sahabatku. Serempak
teman-teman di kelasku meledek kami. Mukaku memerah, bukan marah, tapi malu.
Gimana kalo sebenarnya sosok itu tau kalau aku sebenarnya suka padanya?
Nah, bodohnya, aku
cerita pada semua sahabat-sahabatku dengan suka cita tentang aku suka dia.
Lupa, bahwa menceritakan pada semua sahabatku berarti bercerita pada sepertiga
murid kelas. Tidak bisa dipungkiri lagi segala tingkah laku ku di sangkut
pautkan dengan sosok itu. Di soraki, di ledek dan lain-lain. Nggak bisa marah.
Orang aku yang memberi tahu mereka, nggak papa lah, yang penting dia nggak
sampai tahu. Aku takut sekali, jangan-jangan ia akan menghindariku jika ia tahu
tentang perasaanku.
Ada-ada saja tingkah
nya yang membuat ku semakin kagum padanya. Ia lucu, usil namun juga pintar.
Jika matanya telah menatapku, dan senyumnya yang meledek sudah ditujukan
padaku, mungkin saat itu aku sudah nggak
ada di bumi. Rasanya melayang..... Oh, aku hiper deh. Tapi perasaan itu bener
banget. Aku suka dia, aku suka senyumnya, aku suka tatapannya, bahkan aku suka
keusilannya walau aku terlihat jengkel.
Pelajaran olahraga
selalu menyenangkan di tahun ini karena aku bisa melihatnya bermain sepak bola.
Dia keren banget! Pandanganku kayaknya nggak bisa lepas dari dirinya.
“Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!”
bunyi peluit Pak Bastian terdengar. Itu tanda bahwa anak cewek harus lari
mengelilingi lapangan tiga kali setiap sebelum pelajaran dimulai. Aku pun
berlari dengan santai bersama teman-temanku. Pandanganku tak lepas terhadapnya,
tentu.
Tiba-tiba.. Duk!
“Aw!” aku meringis. Aku
tersandung! Sial. Aku maluuu. Aku ternyata kepergok melihatnya. Bukannya malah
di bantuin, semuanya malah meledekku “Yaaah! Ra! Makanya kalau lari jangan
melihat dia terus dooong!”.
“Idih siapa juga yang
liat dia!” elakku, dengan nada bergetar. Aku bicara dalam hatiku agar kuat, aku
nggak boleh nangis, aku malu hingga rasa sakit pada dengkulku yang berdarah
tidak terasa. “Ra, udah nggak papa kok kita cuma bercandaaaa..”
sahabat-sahabatku menenangkanku.
Kok makin lama makin
perih ya? Sakit juga ternyata. tapi kemudian... aku melihat obat merah
diteteskan ke lukaku. Eh enggak. Aku melihat yang meneteskan, yang ternyata itu
dia! Hah?! Aku nggak percaya! Tapi kemudian ia mulai meniupi lukaku, lalu
membalutnya dengan plester. Aku termenung saat ia mengulurkan tangannya.
“Heh.” Katanya. Aku
masih saja bingung dan kaget setengah mati. Pasti ekspresiku aneh banget.
“Eh... e... apa?” aku
terbata-bata.
“Udah nggak usah bingung gitu deh. Jelek
banget mukamu kalo gitu. Ayo aku bantu berdiri, cepet gak? Pertolongan gak
dateng dua kali nih!”
Hffft. Dia bisa baca
pikiran atau gimana? Dengan malas aku menerima ulurannya dan berdiri dengan
cepat. “Aduh!” kataku. “Makanya ati-ati dong!” dia langsung pergi dan bermain
sepakbola lagi. Aku? Aku masih termenung. Ini perasaan seneng, bingung, sedih
atau gimana sih? Hari itu pun ku lanjutkan dengan perasaan berkecamuk dan suka
ria bersama sahabat-sahabat terbaikku.
Aku galau. Aku baru
pertama kali merasakan galau. Dia suka aku nggak ya? Aku terus saja
bertanya-tanya dalam hati. Sahabat-sahabatku sih bilang sepertinya ia juga suka
padaku, buktinya aku selalu menjadi korban keusilannya. Ah tapi masa sih?
Kayaknya nggak mungkin banget dia suka sama aku. Dia kan agak cool, nah aku? Buat apa dia suka sama
aku, cewek cantik banyak banget kenapa dia suka aku. Pesimis jadinya. Namun
sinyorita selalu ada, selalu mendukungku untuk terus mengaguminya. Kata mereka,
kagum saja kan tidak apa-apa. Iya, benar juga. Cinta kan tidak harus di balas.
Yang penting bagaimana perasaan kita terhadapnya, mungkin sih. Aku sendiri juga
tidak tahu menahu tentang ini.
“Bel, ke kantin yuuuk!”
kataku pada Bella. Salah satu sinyorita. “Kantin? Males.” Katanya jutek. “Loh
kenapa bel?” aku bingung terhadap sikapnya. Bagaimana tidak, tiap hari kami
selalu ke kantin bareng dan biasanya malah dia yang mengajak duluan. Beberapa
detik aku menunggu jawabannya, tapi ia malah melengos lalu pergi. Belum habis
aku berfikir, Dini tiba-tiba menyenggolku dengan keras, sengaja ku rasa. Aku kira
ia bercanda tapi dia malah menggandeng Bella dan pergi begitu saja. Aku bingung
sekali, kenapa mereka? Aku memutuskan untuk tanya pada yang lain.
“Yan, kenapa Bella sama
Dini? Mereka marah?” tanyaku segera pada Dian.
“Memang mereka kenapa,
Ra? Aku tadi pergi sama Dini kok, baik- baik saja deh kayaknya?” kata Dian.
“Mereka kayak marah
sama aku gitu, kenapa ya? Perasaan kemaren masih maen bareng. Kenapa niiih? Aku
sedih huhuhu” wajahku memelas. Dian berkata “Yaudah minta maaf aja ke mereka,
Ra. Mungkin aja kamu ada salah ke mereka.”
Ku hampiri Bella dan
Dini yang ada di depan kelas bercat kuning cerah itu. “Bel, Din, mau anterin
nggak?” tanyaku basa-basi. “Apaan sih? Nggak liat ya Bella sama Dini lagi
ngobrol berdua?” tiba tiba Nindya dan Sonia menghampiri dan langsung
menyemprotku. Lho, kenapa ini? Apa semua anggota sinyorita marah sama aku? “Lho,
aku cuma ngajak aja kok.... kalian kenapa? Aku ada salah? Maafin aku ya kalau
aku ada salah..” kataku dengan nada sedih campur bingung.
“Gak ada apa-apa kok,
Ra. Kita lagi males aja sama kamu. Sorry.”
Kata Sonia dengan nada sinis.
What?Jleb.
Apa salahku? aku masih ingin bertanya ketika mereka berempat langsung
meninggalkanku. Aku masuk ke kelas dengan muram. Hari ini adalah bad-day. Kurasa hanya Dian satu-satunya
sinyorita yang tidak marah padaku. Bahkan Lisa, Febri, Chania, Rahma dan Rizki
pun tidak menegurku sama sekali. Tuhan, apa salahku? Dian terus saja ku tanyai,
namun ia juga menggelengkan kepalanya, ia ternyata juga tak tahu mengapa aku
diperlakukan seperti ini.
Sudah satu minggu
terhitung sinyorita tidak menegurku sama sekali. Aku sedih, rasanya aku tidak
ingin masuk sekolah. Kehilangan sahabat adalah hal yang paling menakutkan dalam
hidup. Bagaimana mau minta maaf jika kalau kuhampiri saja mereka langsung
menjauhiku dan seperti membicarakanku di belakang mereka. Aku terus saja merenung
tentang kesalahanku pada mereka, tapi tetap saja aku tidak menemukan jawabannya.
Sehari sebelum mereka menghindariku, aku masih bergurau dengan mereka.
Nongkrong bareng di basecamp kami. Apa karena waktu itu aku pulang duluan?
Karena waktu itu aku ada keperluan di rumah. Masa karena hal sesepele itu?
Pusing dan sakit hati aku di buatnya. Sedih setiap hari, hanya Dian yang
menghiburku. Kasihan Dian, dia seperti bingung kalau aku dan sinyorita
sama-sama mengajaknya ke kantin atau lainnya. Dia bingung memilih. Kadang dia
memilih jalan bersama sinyo, kadang juga merasa kasihan padaku.
Dia juga sudah mulai
kulupakan, ujian yang sebentar lagi tiba dan masalahku bersama sinyorita seakan
menutupi keceriaanku dan semangatku, bahkan meskipun aku bertemu dan di usili
nya. Aku tetap saja sedih dan tidak bersemangat. Dan hari itu pun tiba.
Kulihat Chania
berlari-lari di sepanjang koridor sekolah dan meneriakkan sesuatu ke kelasku.
Kebetulan saat itu aku sedang berada di perpus untuk mencari novel pulang
sekolah. Sekonyong-konyong ku lihat teman-teman ku yang masih bersantai di
kelas berhamburan keluar. Aku pun menghampiri Brian.
“Eh, ada apa sih?
Chania bilang apa kok pada terburu-buru semua?” Kataku.
“Loh, kamu dari mana
sih, Ra? Itu loh. Rama nembak Nindya di taman belakang sekolah! Anak-anak mau
melihat semua. Katanya, mereka udah PDKT sejak seminggu yang lalu. Yuk, ikut
ra!” kata Brian dengan semangat.
Ra..Rama? sama...
Nindya? Aku tak sanggup berdiri, lemas lututku di buat oleh kata-kata Brian.
Rama, adalah sosok yang selama ini ku kagumi. Nindya, Nindya adalah sahabatku!
Sinyorita! Seminggu yang lalu? Apa ini maksut sinyorita dari seminggu yang lalu
mendiamkanku? Jadi, mereka tidak ingin bahwa aku merusak PDKT Nindya dengan
Rama? Apa? Itu yang namanya sahabat? Aku mual. Pusing dan tidak sanggup berkata
apapun. Kurasa setelah ini air mataku akan tumpah ruah, kuputuskan untuk
melihat mereka agar penderitaanku semakin puas dan lengkap. Aku berlari
memutari sekolah agar sampai ke taman itu. Bajuku sudah basah dibanjiri oleh
keringat dan air mata.
Mereka ada, mereka ada.
Kulihat dengan pandangan nanar Rama sedang memegang tangan Nindya. Hancur,
kehilangan sosok yang ku kagumi. Kehilangan sahabat. Apalagi? Aku puas. Aku
sudah puas melihat mereka. Aku berbalik badan untuk segera pergi dan pulang
bersama kesedihan. Tapi Nindya tiba-tiba berlari menghampiriku sambil menangis.
“Ra, maafin aku ya. Aku nggak tau ternyata perasaan ini sudah ku pendam dari
dulu. Aku suka Rama. Dan ternyata dia juga suka padaku. Aku tidak ingin menyakiti
hatimu dengan menjadikanku sahabatmu, yang nantinya akan berkhianat. Maafin
aku, Ra. Kamu boleh benci sama aku, aku sekarang udah sama Rama. Maafin aku,
Ra.” Matanya berkaca-kaca.
Apa? Apa? Dia minta
maaf? Aku tidak marah karena dia bersama Rama. Aku ikhlas jika ia bersama Rama.
Tapi mengapa harus menghindari ku selama seminggu ini? Begitu banyak yang ingin
ku tanyakan padanya. Tapi tak sanggup. Aku tak sanggup mengatakannya, lidahku
sudah terlampau kelu. Jadi aku memilih diam sambil menunduk meneteskan air
mata. Aku tidak kuat berada disini. Namun aku juga merasa tidak kuat untuk
berjalan. Kejam. Dunia serasa sudah tidak berpihak padaku. Sepintas aku muak
dengan kata ‘sahabat’ dan ‘pacar’.
PROK! Benda keras di
lempar ke kepalaku. Amis. Amis? Telurkah? Aku menengok ke belakang, dan... aku
melihat seluruh anak kelas ku berada di taman itu sambil membawa tepung, air
dan telur. Mereka tertawa, berlari ke arahku dan menumpahkan yang mereka bawa
ke badanku. Aah! Basah kuyup dan bau amis! Aku bingung. Lalu nada ‘happy
birthday’ terdengar. Ku lihat Dian, Febri dan Rizki tersenyum gembira sambil membawa
kue tar lengkap dengan lilin yang cantik.
Jadi... jadi ini semua
karena ulang tahun ku? Aku saja lupa, bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku.
Nindya menyiramku dengan air lagi dan berkata “Ra, itu semua bohong kok. Hehe”
Siaaaaaaaaaaaaaaal! Aku
bahagia sekali! Aku menangis terharu dan tertawa terpingkal-pingkal bersama
yang lain. Aku mencoba untuk memeluk semua orang agar mereka ikut basah
bersamaku. Tidak ada yang berhasil. Mereka semua lincah dan gesit, tidak
sepertiku yang sudah lengket dengan tepung dan bau amis. Tiba-tiba, Rama
menepuk pundakku.
“Ra, maaf ya tadi jadi
membuat kamu nangis. Aku cuma di suruh sama sahabat-sahabatmu itu lho.” Kata
Rama. Aku melirik sinyorita yang senyam-senyum meledek melihat kami. “jadi,
sebenernya, Ra. Aku bukan suka sama Nindya. Tapi.. Aku suka kamu. Dari pertama
kali masuk kelas. Maafin aku ya udah suka jail sama kamu? Kamu mau, jadi
pacarku?”
Astaghfirullah... aku sama
sekali nggak menyangka. Aku speechless. Rama?
Dia.. Dia menembakku?
“Se...serius....?” aku
masih kaget, jantungku udah mau copot, nih!
“Dua rius deh! Gimana?
Jadian?” tanyanya lagi dengan sungguh-sungguh. Aku hanya bisa menggeleng ragu,
takut kalau ini hanya bercandaan. Tapi ternyata dia tersenyum sambil menggandengku.
Dan bilang, “Arigatou gozaimasu, Rara-chan. Aishiteru.”
Hari itu adalah kejutan
yang paling gila dalam hidupku. Jadi, ternyata rencana ini udah di persiapkan
matang-matang sejak dulu. Ternyata kebahagiaan masih berpihak padaku, tidak
jadi kehilangan sahabat, dan.... sosok itu sudah ku miliki sekarang. Masa
putih-biru ku, berakhir dengan bahagia.
-End-
Inspirated By : All the members of Sinyorita. khususnya Aprilia Widia Andini. dan segenap kekeluargaan Songo G. :3 I Love You, Guys! cerita ini nggak nyata-nyata banget, tapi juga nggak fiksi-fiksi banget soalnya ada kejadian-kejadian yang beneran. hehe. untuk sosok yang di atas, aku akui itu gabungan dari tiga cowok :) Thanks. Hope that you'll enjoy my FictionStory :*